Minggu, 19 Januari 2014

Cerpen : Cinta Tanah Airku, Budaya Indonesia


Cinta Tanah Airku, Budaya Indonesia


          Diajeng Alana Prameswari, atau yang biasa disapa Lana, memanglah sangat menyukai Musik Rock Jepang. Baginya Musik Rock itu adalah kehidupan dan kebutuhan, sehari saja tidak mendengarkan maka hidup akan terasa hampa. Yah, terlalu hiperbolis memang tapi itulah pendapat Lana. Dan soal mengapa ia menyukai Musik Rock Jepang bukan yang lain, itu karena memang dulunya Lana adalah seorang Otaku.
Otaku adalah sebutan untuk orang yang menjadi penggemar berat manga atau anime. Dari ost. anime-anime itulah Lana menjadi penyuka Musik Jepang khususnya Rock. Seperti lagu Sobakasu dari Anime Samurai X, lagu Viva Rock dari Anime Naruto, lagu Hero’s come Back dari Anime Naruto Shippuden, Asterisk dari Anime Bleach, lagu We Are dari Anime One Piece dan masih banyak lainnya.
          Hari itu adalah Hari Minggu. Kota Batu yang memang  dingin dipagi hari tak menggentarkan Lana untuk memutar musik kesayangannya. Tentunya dengan volume yang keras. Kanashimi Wo Yasashisa Ni menjadi lagu pilihannya kali ini.
          Tok…Tok..Tok….’ terdengar suara pintu Kamar Lana yang diketuk.
          “LANAAA….!!! BUKA PINTUNYA…!!!”
          “Duh, ada apa sih Eyang Uti? Pagi-pagi kok sudah gedor-gedor pintu kamar Lana.”
          “Kamu itu yang ada apa! Pagi-pagi sudah bikin ribut satu rumah. Volume musik kamu itu tolong dikecilkan. Laipulah kamu itu anak perempuan, mana pantas dengan musik bising           seperti itu.”
“Haduh Eyang, itu namanya Musik Rock. Keren Eyang. Lagipulah Lana pantas-pantas saja kok dengan musik itu.”
          “Kamu ini dibilangin sama orang tua masih saja menyangkal. Sudah pokoknya Eyang Uti tidak mau tahu. Mulai besok ubah kebiasaan musikmu itu. Kamu besok Eyang Uti datangkan guru musik jawa biar cinta sama budaya sendiri. Kamu sebagai anak bangsa harus sadar Lana, cintai budaya sendiri bukan budaya asing.”
          Lana memanglah Lana, bukan Lana namanya jika ucapan Eyang Uti tidak masuk telinga kanan keluar telinga kiri, alias hanya dianggap angin lalu. Setelah Eyang Uti kembali dari kamar Lana, gadis berumur empat belas tahun itu kembali ke aktifitasnya. Yah, bernyanyi ala rock star dengan meloncat-loncat diatas tempat tidur, tentunya dengan alunan Musik Rock yang menggema di seluruh kamar.
           Pagi itu adalah pagi yang paling ditunggu oleh Lana. Pagi hari dimana ia akan melakukan hal yang paling disukainya, bermain Musik Rock. Jam pelajaran pertama Hari Senin memanglah kelas musik, itulah sebabnya Lana menunggu-nunggu pagi hari itu. Dalam kelas musik, Lana mempunyai seorang sahabat yang sama-sama menyukai Music Rock sama seperti dirinya. Ia adalah Lintang. Lintang adalah anak laki-lakinya Om Beny, teman dekat Papa Lana. Lintang dan Lana memanglah sahabat karib sedari kecil. Bahkan teman-teman mereka selalu menjuluki dimana ada Lana disitulah ada Lintang.
          Seperti biasa, Lana memang selalu datang pagi di Hari Senin. Ia selalu menempati tempat duduk di samping Lintang atau lebih tepatnya di bangku urutan kedua di  pojok kanan kelas. Kelas masih sepi dan Lintang juga belum datang. Akhirnya Lana lebih memilih menghabiskan waktunya untuk membaca majalah Musik Rock kesukaannya sambil menunggu bel masuk.
          Lima belas menit telah berlalu. Lana melihat Lintang datang ke bangkunya dengan sedikit berlari-lari kecil bersamaan dengan berbunyinya bel sekolah. Ternyata Lintang hampir saja terlambat. Untungnya Mang Diman, penjaga pintu gerbang, memperbolehkannya masuk meski Lintang datang tepat jam 06.45. Sesuai peraturan sekolah, seharusnya para murid datang lima belas menit sebelum jam yang sudah ditetapkan.
          Setelah Upacara Bendera selesai, akhirnya jam pelajaran pertama dimulai. Lana paling bersemangat untuk hal yang satu ini. Selain karena ia suka musik, ada faktor lain yang menyebabkan ia  menyukai jam pelajaran pertama hari itu. Itu karena Lana sangat mengagumi Bu Ifa. Meskipun Bu Ifa berkerudung dan itu membuat orang berasumsi bahwa Bu Ifa orang yang kalem dan pendiam, pada kenyataannya guru muda satu itu tidak seperti itu. Bu Ifa orang yang sangat ceria dan bersemangat. Beliau mengajar dengan santai tetapi tegas. Itu yang membuat para murid menyukainya.
          Bu Ifa datang lima menit setelah seluruh murid masuk kelas. Tetapi kali ini berbeda dari biasanya, Bu Ifa tidak datang sendiri. Beliau datang bersama gadis keturunan  luar negeri. Mungkin gadis itu adalah murid baru karena para murid belum pernah melihat sebelumnya dan juga karena seragamnya bukan seragam SMP PEKERTI LUHUR, tempat mereka bersekolah.
          Satu kelas mendadak hening ketika dua orang itu datang. Bu Ifa yang merasa sudah waktunya untuk mengajar mulai buka suara. Pertama-tama seperti biasa, beliau menyapa semua murid dengan gayanya yang energik namun bersahaja. Dan selanjutnya ia mulai memperkenalkan siapa sesungguhnya gadis yang datang bersamanya.
          Gadis itu bernama Ananta Ferdinant. Dia pindahan dari SMP MERDEKA, Jakarta Selatan. Ia keturunan Indonesia dengan Austria. Ibunya Indonesia dan Ayahnya Austria. Ia pindah ke Kota Batu karena Papanya dipindah tugaskan dari kantornya yang ada di Jakarta. Itulah hal yang ditangkap Lana ketika Ana, sapaan akrab gadis itu, menjelaskan tentang dirinya di depan kelas. Setelah Ana selesai memperkenalkan diri, Bu Ifa menyuruhnya untuk duduk di bangku yang ada di belakang Lana. Lana sangat antusias sekali mendapat teman baru. Diakui oleh satu kelas, Lana memang cepat akrab dengan orang lain. Itulah yang menyebabkan gadis itu mempunyai banyak teman.
          Pelajaran segera dimulai. Bu Ifa mengajar dengan gayanya yang biasa, santai namun tegas. Ditengah-tengah pelajaran, beliau memberitahukan bahwa akan diadakan Music Festival Competition di sekolah. Pemenangnya akan langsung dikirim untuk mewakili sekolah ke tingkat selanjutnya. Semua siswa dari kelas VII hingga kelas IX berhak untuk mendaftar. Mendengar itu semua, Lana dan Lintang tentu akan lebih memilih Music Rock untuk ditampilkan. Mereka berdua akan bernyanyi.
          Lana tidak menyangka bahwa Ana akan memilih Keroncong Jawa, atau lebih tepatnya ia akan menyinden keroncong di Music Festival Competition itu. Bukan Lana saja yang kaget, melainkan satu kelas juga. Ia tak menyangka seorang gadis keturunan Austria bisa menyinden keroncong. Sebelumnya Lana berpikir bahwa Ana akan lebih memilih music Pop, Jazz, atau Rock. Tapi pada kenyataannya ia lebih memilih Keroncong Jawa.
          Jam pelajran telah usai. Istirahat kala itu, Lana habiskan untuk bercengkrama dengan Ana, teman barunya. Ia bertanya pada Ana mengapa ia lebih memilih Musik Jawa daripada musik lainnya. Dan jawaban Ana benar-benar menggetarkan sesuatu dalam diri Lana. Lana merasa malu. Sampai dengan pulang sekolah, Lana masih memikirkan jawaban yang Ana berikan padanya.
          “Aku lebih memilih Keroncong Jawa karena menurut aku Musik Jawa itu keren. Bahasanya yang luhur mengandung makna baik tersendiri daripada musik lainnya. Contohnya Tembang Pucung yang bersifat menasehati, Tembang Gambuh yang bersifat lucu, Sinom, serta tembang-tembang lainnya. Musik Jawa itu bagus Lana, kamu seharusnya bangga jadi anak Jawa, anak Indonesia. Aku merasa aku beruntung terlahir dari rahim ibuku, karena aku bisa menjadi bagian dari Indonesia.”
          Jawaban itulah yang membuat Lana merasa malu karena ia lebih memilih Musik Rock yang bukan datang dari negerinya sendiri. Dan yang lebih membuatnya merasa pundung adalah kata-kata itu datang dari Ana, seorang gadis yang bahkan darahnya bukan sepenuhnya Indonesia. Sedangkan dirinya sendiri yang kebetulan keturunan Priyayi Jawa dari Eyang Uti, malah tidak menyukai Musik Jawa.
          Sesampainya di rumah, Lana dikejutkan oleh adanya tamu Bu Martini dan Ana. Ana agaknya setelah pulang sekolah langsung menuju ke rumah Lana karena ia belum sama sekali berganti pakaian. Ternyata Ana adalah cucu dari Bu Martini dan maksud kedatangannya bersama neneknya adalah atas permintaan Eyang Uti untuk mengajari Lana menyinden. Sekarang Lana benar-benar malu menjadi anak bangsa. Bahkan Eyang Uti harus memanggil orang untuk mengajarinya untuk mencintai budayanya sendiri. Mungkin Lana sedikit menyesal karena selama ini mencintai budaya orang lain.
          Lana menyambut Ana dan Bu Martini dengan antusias yang tinggi, membuat Eyang Uti terheran-heran akan sikapmnya. Setahu beliau Lana tidak menyukai menyinden, tapi sikap cucunya kali ini berbeda dari yang sudah-sudah. Lana mulai bersemangat ketika diajari untuk membawakan satu tembang Jawa. Awalnya memang susah karena nada-nadanya yang tinggi dan terkesan dalam, tapi lama-kelamaan Lana bisa menguasainya dengan baik. Ia seperti tak ubahnya menyanyikan lagu Rock yang jika dibawakan seperti berteriak. Bedanya jika membawakan tembang Jawa adalah cara pembawaannya yang halus, kalem, lemah lembut dan penuh dengan penghayatan.
          Tak terasa sudah dua minggu Lana belajar menyinden dengan Ana dan Bu Martini. Agaknya ia sudah bisa menguasai beberapa tembang Jawa. Beberapa ia bawakan dengan keroncong. Rasa malunya yang dulu sedikit menghilang. Entah mengapa ia ingin menebus kesalahannya menjadi anak bangsa yang tak mencintai budayanya sendiri. Ia ingin membuat kejutan bagi semua orang.
          Hari itu adalah hari dimana Music Festival Competition digelar. Seluruh tamu undangan yang terdiri dari para wali murid dan sanak kerabat mulai memenuhi aula sekolah tempat kompetisi digelar. Pertama-tama tampilan beberapa murid bergenre POP yang menjadi pembuka kompetisi. Dilanjutkan oleh Jazz, lalu Keroncong Jawa. Jumlah peserta untuk Keroncong Jawa ada dua puluh orang. Ana dengan baju casualnya tampil dengan baik membawakan Lagu Bengawan Solo yang dipopulerkan oleh Gesang. Tiba pada peserta terakhir.
          Peserta itu adalah Lana. Ia  memakai kebaya dan sewek serta rambutnya yang disanggul bak putri keraton. Semua orang yang hadir nampak takjub padanya, karena ia adalah satu-satunya peserta yang tampil penuh maksimal. Bahkan Eyang Uti yang awalnya melihat malas pemandangan tampilan peserta yang ada, matanya terbelalak lebar saat melihat cucunya dengan aksen budaya Jawa kental. Beliau tidak menyangka Lana akan bernyanyi musik keroncong karena pada saat berangkat dari rumah tadi cucunya itu mengenakan baju casual jeans.
          Lana tampil berbeda dengan apik dengan membawakan lagu yang berbeda pula. Ia membawakan Lagu Zandvoort Aan de Zee versi keroncong. Lagu itu adalah lagu Tanjung Perak khas Surabaya yang diubah liriknya menjadi lirik Bahasa Belanda. Lagu itu sering dinyanyikan oleh penyinden ternama kelas Silir Pujiwati. Memang lagu itu bukan berlirikan Indonesia seperti lagu tembang-tembang keroncong lainnya, tetapi maknanya yang Lana pilih.  
Sungguh tampilan yang menggetarkan panggung kompetisi. Diakhir penampilannya, Lana mengucapkan kata-kata tak terduga yang membuat semua orang kagum.
          “Kita sebagai anak bangsa seharusnya bangga pada budaya musik kita sendiri, karena budaya musik kita itu sangat bagus. Contohnya seperti lagu yang baru saja saya bawakan. Lagu itu adalah lagu Tanjung Perak khas Surabaya yang diubah liriknya menjadi lirik Bahasa Belanda. Betapa orang luar sangat mengaggumi budaya musik kita, tetapi mengapa kita tidak? Bukan hanya budaya musik saja, tetapi budaya lainnya juga. Saya sadar saya tidak pantas mengatakan hal ini karena dulu saya adalah pecinta Musik Rock, tetapi saya ingin berubah. Saya ingin menjadi anak bangsa sejati yang melestarikan budayanya sendiri. Ayo teman, kita lestarikan budaya negara kita bersama. Cinta tanah airku, budaya Indonesia.”
          Bersamaan dengan berakhirnya pidato singkat Lana, gema riuh tepuk tangan penonton langsung membahana. Eyang Uti sampai menangis terharu melihat penampilan Lana. Beliau sangat bangga pada cucu satu-satunya itu. Setelah penampilan Lana, acara dilanjutkan dengan penampilan musik berikutnya, Musik Rock.
          Di belakang panggung, Lana berterima kasih kepada Ana karena telah mengajarinya tentang banyak hal secara tidak langsung. Lana sadar jika Ana tidak memberikan jawaban yang membuatnya berubah, mungkin saat ini ia masih menjadi anak bangsa yang tak bisa mencintai budayanya sendiri. Setelah itu mereka berdua mendukung Lintang yang bernyanyi solo dengan Musik Rock kesukaannya.
          Tibalah dipenghujung acara dimana pemenang akan diumumkan. Setelah pengumuman pemenang Juara POP dan Jazz, kini tibalah pengumuman pemenang Juara Keroncong. Lana begitu kaget ketika namanya keluar sebagai juara pertama, sedangkan Ana menempati posisi kedua. Disusul pengumuman pemenang juara pertama dari Musik Rock yang ternyata diraih oleh Lintang. Para hadirin yang hadir bertepuk tangan atas kemenangan para juara itu.
          Setelah turun dari panggung, Lana langsung berlari menuju Eyang Uti. Ia memeluk nenek kesayangannya itu dengan erat. Lana meminta maaf kepada Eyang Uti atas kelakuannya selama ini yang membuat Eyang Uti menjadi kesal. Lana berjanji akan lebih melestarikan budaya Jawanya daripada budayanya yang lain. Tentunya Lana juga akan menghormati budaya-budaya lainnya. Dan malam indah itu ditutup dengan kata-kata Eyang Uti yang membuat Lana merasa lebih bersemangat melestarikan budaya bangsa.
          Dipalangana mlumpat, ditalenana medhot. Yen Wis tinakdir (jodho), kaya ngapa’a mesthi bakal kelakon (dadi). Ya seperti kamu ini Lana. Memang sudah jodhomu berada di jalur musik keroncong disbanding Musik Rock. Buktinya suara kamu tadi bagus dan kamu menjadi pemenangnya bukan.”
          “Hehehe, Ok Eyang. Mulai sekarang Lana banar-benar akan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Eyang. Lana cinta budaya Indonesia.”

SELESAI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar