Minggu, 19 Januari 2014

Cerpen : Cinta Tanah Airku, Budaya Indonesia


Cinta Tanah Airku, Budaya Indonesia


          Diajeng Alana Prameswari, atau yang biasa disapa Lana, memanglah sangat menyukai Musik Rock Jepang. Baginya Musik Rock itu adalah kehidupan dan kebutuhan, sehari saja tidak mendengarkan maka hidup akan terasa hampa. Yah, terlalu hiperbolis memang tapi itulah pendapat Lana. Dan soal mengapa ia menyukai Musik Rock Jepang bukan yang lain, itu karena memang dulunya Lana adalah seorang Otaku.
Otaku adalah sebutan untuk orang yang menjadi penggemar berat manga atau anime. Dari ost. anime-anime itulah Lana menjadi penyuka Musik Jepang khususnya Rock. Seperti lagu Sobakasu dari Anime Samurai X, lagu Viva Rock dari Anime Naruto, lagu Hero’s come Back dari Anime Naruto Shippuden, Asterisk dari Anime Bleach, lagu We Are dari Anime One Piece dan masih banyak lainnya.
          Hari itu adalah Hari Minggu. Kota Batu yang memang  dingin dipagi hari tak menggentarkan Lana untuk memutar musik kesayangannya. Tentunya dengan volume yang keras. Kanashimi Wo Yasashisa Ni menjadi lagu pilihannya kali ini.
          Tok…Tok..Tok….’ terdengar suara pintu Kamar Lana yang diketuk.
          “LANAAA….!!! BUKA PINTUNYA…!!!”
          “Duh, ada apa sih Eyang Uti? Pagi-pagi kok sudah gedor-gedor pintu kamar Lana.”
          “Kamu itu yang ada apa! Pagi-pagi sudah bikin ribut satu rumah. Volume musik kamu itu tolong dikecilkan. Laipulah kamu itu anak perempuan, mana pantas dengan musik bising           seperti itu.”
“Haduh Eyang, itu namanya Musik Rock. Keren Eyang. Lagipulah Lana pantas-pantas saja kok dengan musik itu.”
          “Kamu ini dibilangin sama orang tua masih saja menyangkal. Sudah pokoknya Eyang Uti tidak mau tahu. Mulai besok ubah kebiasaan musikmu itu. Kamu besok Eyang Uti datangkan guru musik jawa biar cinta sama budaya sendiri. Kamu sebagai anak bangsa harus sadar Lana, cintai budaya sendiri bukan budaya asing.”
          Lana memanglah Lana, bukan Lana namanya jika ucapan Eyang Uti tidak masuk telinga kanan keluar telinga kiri, alias hanya dianggap angin lalu. Setelah Eyang Uti kembali dari kamar Lana, gadis berumur empat belas tahun itu kembali ke aktifitasnya. Yah, bernyanyi ala rock star dengan meloncat-loncat diatas tempat tidur, tentunya dengan alunan Musik Rock yang menggema di seluruh kamar.
           Pagi itu adalah pagi yang paling ditunggu oleh Lana. Pagi hari dimana ia akan melakukan hal yang paling disukainya, bermain Musik Rock. Jam pelajaran pertama Hari Senin memanglah kelas musik, itulah sebabnya Lana menunggu-nunggu pagi hari itu. Dalam kelas musik, Lana mempunyai seorang sahabat yang sama-sama menyukai Music Rock sama seperti dirinya. Ia adalah Lintang. Lintang adalah anak laki-lakinya Om Beny, teman dekat Papa Lana. Lintang dan Lana memanglah sahabat karib sedari kecil. Bahkan teman-teman mereka selalu menjuluki dimana ada Lana disitulah ada Lintang.
          Seperti biasa, Lana memang selalu datang pagi di Hari Senin. Ia selalu menempati tempat duduk di samping Lintang atau lebih tepatnya di bangku urutan kedua di  pojok kanan kelas. Kelas masih sepi dan Lintang juga belum datang. Akhirnya Lana lebih memilih menghabiskan waktunya untuk membaca majalah Musik Rock kesukaannya sambil menunggu bel masuk.
          Lima belas menit telah berlalu. Lana melihat Lintang datang ke bangkunya dengan sedikit berlari-lari kecil bersamaan dengan berbunyinya bel sekolah. Ternyata Lintang hampir saja terlambat. Untungnya Mang Diman, penjaga pintu gerbang, memperbolehkannya masuk meski Lintang datang tepat jam 06.45. Sesuai peraturan sekolah, seharusnya para murid datang lima belas menit sebelum jam yang sudah ditetapkan.
          Setelah Upacara Bendera selesai, akhirnya jam pelajaran pertama dimulai. Lana paling bersemangat untuk hal yang satu ini. Selain karena ia suka musik, ada faktor lain yang menyebabkan ia  menyukai jam pelajaran pertama hari itu. Itu karena Lana sangat mengagumi Bu Ifa. Meskipun Bu Ifa berkerudung dan itu membuat orang berasumsi bahwa Bu Ifa orang yang kalem dan pendiam, pada kenyataannya guru muda satu itu tidak seperti itu. Bu Ifa orang yang sangat ceria dan bersemangat. Beliau mengajar dengan santai tetapi tegas. Itu yang membuat para murid menyukainya.
          Bu Ifa datang lima menit setelah seluruh murid masuk kelas. Tetapi kali ini berbeda dari biasanya, Bu Ifa tidak datang sendiri. Beliau datang bersama gadis keturunan  luar negeri. Mungkin gadis itu adalah murid baru karena para murid belum pernah melihat sebelumnya dan juga karena seragamnya bukan seragam SMP PEKERTI LUHUR, tempat mereka bersekolah.
          Satu kelas mendadak hening ketika dua orang itu datang. Bu Ifa yang merasa sudah waktunya untuk mengajar mulai buka suara. Pertama-tama seperti biasa, beliau menyapa semua murid dengan gayanya yang energik namun bersahaja. Dan selanjutnya ia mulai memperkenalkan siapa sesungguhnya gadis yang datang bersamanya.
          Gadis itu bernama Ananta Ferdinant. Dia pindahan dari SMP MERDEKA, Jakarta Selatan. Ia keturunan Indonesia dengan Austria. Ibunya Indonesia dan Ayahnya Austria. Ia pindah ke Kota Batu karena Papanya dipindah tugaskan dari kantornya yang ada di Jakarta. Itulah hal yang ditangkap Lana ketika Ana, sapaan akrab gadis itu, menjelaskan tentang dirinya di depan kelas. Setelah Ana selesai memperkenalkan diri, Bu Ifa menyuruhnya untuk duduk di bangku yang ada di belakang Lana. Lana sangat antusias sekali mendapat teman baru. Diakui oleh satu kelas, Lana memang cepat akrab dengan orang lain. Itulah yang menyebabkan gadis itu mempunyai banyak teman.
          Pelajaran segera dimulai. Bu Ifa mengajar dengan gayanya yang biasa, santai namun tegas. Ditengah-tengah pelajaran, beliau memberitahukan bahwa akan diadakan Music Festival Competition di sekolah. Pemenangnya akan langsung dikirim untuk mewakili sekolah ke tingkat selanjutnya. Semua siswa dari kelas VII hingga kelas IX berhak untuk mendaftar. Mendengar itu semua, Lana dan Lintang tentu akan lebih memilih Music Rock untuk ditampilkan. Mereka berdua akan bernyanyi.
          Lana tidak menyangka bahwa Ana akan memilih Keroncong Jawa, atau lebih tepatnya ia akan menyinden keroncong di Music Festival Competition itu. Bukan Lana saja yang kaget, melainkan satu kelas juga. Ia tak menyangka seorang gadis keturunan Austria bisa menyinden keroncong. Sebelumnya Lana berpikir bahwa Ana akan lebih memilih music Pop, Jazz, atau Rock. Tapi pada kenyataannya ia lebih memilih Keroncong Jawa.
          Jam pelajran telah usai. Istirahat kala itu, Lana habiskan untuk bercengkrama dengan Ana, teman barunya. Ia bertanya pada Ana mengapa ia lebih memilih Musik Jawa daripada musik lainnya. Dan jawaban Ana benar-benar menggetarkan sesuatu dalam diri Lana. Lana merasa malu. Sampai dengan pulang sekolah, Lana masih memikirkan jawaban yang Ana berikan padanya.
          “Aku lebih memilih Keroncong Jawa karena menurut aku Musik Jawa itu keren. Bahasanya yang luhur mengandung makna baik tersendiri daripada musik lainnya. Contohnya Tembang Pucung yang bersifat menasehati, Tembang Gambuh yang bersifat lucu, Sinom, serta tembang-tembang lainnya. Musik Jawa itu bagus Lana, kamu seharusnya bangga jadi anak Jawa, anak Indonesia. Aku merasa aku beruntung terlahir dari rahim ibuku, karena aku bisa menjadi bagian dari Indonesia.”
          Jawaban itulah yang membuat Lana merasa malu karena ia lebih memilih Musik Rock yang bukan datang dari negerinya sendiri. Dan yang lebih membuatnya merasa pundung adalah kata-kata itu datang dari Ana, seorang gadis yang bahkan darahnya bukan sepenuhnya Indonesia. Sedangkan dirinya sendiri yang kebetulan keturunan Priyayi Jawa dari Eyang Uti, malah tidak menyukai Musik Jawa.
          Sesampainya di rumah, Lana dikejutkan oleh adanya tamu Bu Martini dan Ana. Ana agaknya setelah pulang sekolah langsung menuju ke rumah Lana karena ia belum sama sekali berganti pakaian. Ternyata Ana adalah cucu dari Bu Martini dan maksud kedatangannya bersama neneknya adalah atas permintaan Eyang Uti untuk mengajari Lana menyinden. Sekarang Lana benar-benar malu menjadi anak bangsa. Bahkan Eyang Uti harus memanggil orang untuk mengajarinya untuk mencintai budayanya sendiri. Mungkin Lana sedikit menyesal karena selama ini mencintai budaya orang lain.
          Lana menyambut Ana dan Bu Martini dengan antusias yang tinggi, membuat Eyang Uti terheran-heran akan sikapmnya. Setahu beliau Lana tidak menyukai menyinden, tapi sikap cucunya kali ini berbeda dari yang sudah-sudah. Lana mulai bersemangat ketika diajari untuk membawakan satu tembang Jawa. Awalnya memang susah karena nada-nadanya yang tinggi dan terkesan dalam, tapi lama-kelamaan Lana bisa menguasainya dengan baik. Ia seperti tak ubahnya menyanyikan lagu Rock yang jika dibawakan seperti berteriak. Bedanya jika membawakan tembang Jawa adalah cara pembawaannya yang halus, kalem, lemah lembut dan penuh dengan penghayatan.
          Tak terasa sudah dua minggu Lana belajar menyinden dengan Ana dan Bu Martini. Agaknya ia sudah bisa menguasai beberapa tembang Jawa. Beberapa ia bawakan dengan keroncong. Rasa malunya yang dulu sedikit menghilang. Entah mengapa ia ingin menebus kesalahannya menjadi anak bangsa yang tak mencintai budayanya sendiri. Ia ingin membuat kejutan bagi semua orang.
          Hari itu adalah hari dimana Music Festival Competition digelar. Seluruh tamu undangan yang terdiri dari para wali murid dan sanak kerabat mulai memenuhi aula sekolah tempat kompetisi digelar. Pertama-tama tampilan beberapa murid bergenre POP yang menjadi pembuka kompetisi. Dilanjutkan oleh Jazz, lalu Keroncong Jawa. Jumlah peserta untuk Keroncong Jawa ada dua puluh orang. Ana dengan baju casualnya tampil dengan baik membawakan Lagu Bengawan Solo yang dipopulerkan oleh Gesang. Tiba pada peserta terakhir.
          Peserta itu adalah Lana. Ia  memakai kebaya dan sewek serta rambutnya yang disanggul bak putri keraton. Semua orang yang hadir nampak takjub padanya, karena ia adalah satu-satunya peserta yang tampil penuh maksimal. Bahkan Eyang Uti yang awalnya melihat malas pemandangan tampilan peserta yang ada, matanya terbelalak lebar saat melihat cucunya dengan aksen budaya Jawa kental. Beliau tidak menyangka Lana akan bernyanyi musik keroncong karena pada saat berangkat dari rumah tadi cucunya itu mengenakan baju casual jeans.
          Lana tampil berbeda dengan apik dengan membawakan lagu yang berbeda pula. Ia membawakan Lagu Zandvoort Aan de Zee versi keroncong. Lagu itu adalah lagu Tanjung Perak khas Surabaya yang diubah liriknya menjadi lirik Bahasa Belanda. Lagu itu sering dinyanyikan oleh penyinden ternama kelas Silir Pujiwati. Memang lagu itu bukan berlirikan Indonesia seperti lagu tembang-tembang keroncong lainnya, tetapi maknanya yang Lana pilih.  
Sungguh tampilan yang menggetarkan panggung kompetisi. Diakhir penampilannya, Lana mengucapkan kata-kata tak terduga yang membuat semua orang kagum.
          “Kita sebagai anak bangsa seharusnya bangga pada budaya musik kita sendiri, karena budaya musik kita itu sangat bagus. Contohnya seperti lagu yang baru saja saya bawakan. Lagu itu adalah lagu Tanjung Perak khas Surabaya yang diubah liriknya menjadi lirik Bahasa Belanda. Betapa orang luar sangat mengaggumi budaya musik kita, tetapi mengapa kita tidak? Bukan hanya budaya musik saja, tetapi budaya lainnya juga. Saya sadar saya tidak pantas mengatakan hal ini karena dulu saya adalah pecinta Musik Rock, tetapi saya ingin berubah. Saya ingin menjadi anak bangsa sejati yang melestarikan budayanya sendiri. Ayo teman, kita lestarikan budaya negara kita bersama. Cinta tanah airku, budaya Indonesia.”
          Bersamaan dengan berakhirnya pidato singkat Lana, gema riuh tepuk tangan penonton langsung membahana. Eyang Uti sampai menangis terharu melihat penampilan Lana. Beliau sangat bangga pada cucu satu-satunya itu. Setelah penampilan Lana, acara dilanjutkan dengan penampilan musik berikutnya, Musik Rock.
          Di belakang panggung, Lana berterima kasih kepada Ana karena telah mengajarinya tentang banyak hal secara tidak langsung. Lana sadar jika Ana tidak memberikan jawaban yang membuatnya berubah, mungkin saat ini ia masih menjadi anak bangsa yang tak bisa mencintai budayanya sendiri. Setelah itu mereka berdua mendukung Lintang yang bernyanyi solo dengan Musik Rock kesukaannya.
          Tibalah dipenghujung acara dimana pemenang akan diumumkan. Setelah pengumuman pemenang Juara POP dan Jazz, kini tibalah pengumuman pemenang Juara Keroncong. Lana begitu kaget ketika namanya keluar sebagai juara pertama, sedangkan Ana menempati posisi kedua. Disusul pengumuman pemenang juara pertama dari Musik Rock yang ternyata diraih oleh Lintang. Para hadirin yang hadir bertepuk tangan atas kemenangan para juara itu.
          Setelah turun dari panggung, Lana langsung berlari menuju Eyang Uti. Ia memeluk nenek kesayangannya itu dengan erat. Lana meminta maaf kepada Eyang Uti atas kelakuannya selama ini yang membuat Eyang Uti menjadi kesal. Lana berjanji akan lebih melestarikan budaya Jawanya daripada budayanya yang lain. Tentunya Lana juga akan menghormati budaya-budaya lainnya. Dan malam indah itu ditutup dengan kata-kata Eyang Uti yang membuat Lana merasa lebih bersemangat melestarikan budaya bangsa.
          Dipalangana mlumpat, ditalenana medhot. Yen Wis tinakdir (jodho), kaya ngapa’a mesthi bakal kelakon (dadi). Ya seperti kamu ini Lana. Memang sudah jodhomu berada di jalur musik keroncong disbanding Musik Rock. Buktinya suara kamu tadi bagus dan kamu menjadi pemenangnya bukan.”
          “Hehehe, Ok Eyang. Mulai sekarang Lana banar-benar akan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Eyang. Lana cinta budaya Indonesia.”

SELESAI.

Rabu, 15 Januari 2014

Cerpen: Mutiara Hitam Dari Timur


Mutiara Hitam Dari Timur
            Ocean Kulganiawilsih Amarajingga Riddict , atau yang biasa disapa Ocean, sangat menyukai lautan. Menurutnya lautan itu menarik, tempat biota-biota laut yang unik nan cantik. Ocean lahir di Lombok, surganya lautan yang elok. Hobi Ocean tak lain dan tak bukan adalah menyelam atau yang lebih dikenal dengan diving.
            Ayah Ocean berasal dari Selandia Baru atau yang lebih popular dengan nama New Zealand. Beliau jatuh cinta pada ibu Ocean saat melancong ke Lombok. Menurut beliau, Indonesia itu sangat menarik. Terutama pada lautan dan jejeran pulau-pulau yang ada serta dengan berbagai agama, suku, ras, dan kebudayaan yang saling menghormati.
            Indonesia merupakan negara maritim atau kepulauan terbesar didunia. Antara pulau satu dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tapi bukanlah menjadi penghalang bagi setiap suku bangsa di Indonesia untuk saling berhubungan dengan suku-suku di pulau lainnya. Ocean sangat bersyukur Indonesia adalah negara maritim, kalau tidak, ia tak akan mungkin lahir ke dunia ini karena kedua orang tuanya bersatu karena hal tersebut.
            Akhir pekan ini, adalah akhir pekan yang ditunggu-tunggu oleh Ocean. Papanya berjanji akan membawanya berlibur ke Papua. Disana Ocean akan berlibur ke Rumah Om Basta. Om Basta bekerja dibidang penelitian biota laut dan beliau ditempatkan di Papua. Beliau pernah mengirimkan foto pantai yang sangat indah pada Ocean. Om Basta menyebutnya sebagai Pantai Hitam. Sesuai dengan namanya, keunikan dari pantai itu berasal dari bebatuan cantik berwarna hitam di sepanjang pantai tersebut. Ocean semakin tidak sabar untuk menunggu Hari Sabtu.
            Ocean jadi teringat akan liburannya dua tahun yang lalu saat di kampung halaman papanya di daerah suburban bernama New Lynn, di Auckland Barat. Auckland adalah kota pelayaran. Tak khayal disini banyak sekali pantai yang indah. Oh, itu adalah liburan yang paling menyenangkan yang pernah ia rasakan. Akankah liburannya kali ini sangat menyenangkan sama seperti di Auckland? Untuk itu Ocean belum tahu. Yang jelas saat ini ia harus mempersiapkan segalanya dengan matang.
            Hari Sabtu pagi yang cerah saat burung-burung berkicau menyanyikan lagu semangat. Ocean yang sudah menyiapkan barang-barang liburannya itu langsung menuju ke kamar kedua orang tuanya.
            “Papa, mama ayo bangun!”
            “Aduh, anak gadis mama. Pagi-pagi seperti ini ada apa sih? Lihat, papamu masih               tertidur lelap”
            “Lho, bukannya akhir pekan ini kita sekeluarga hendak pergi ke Rumah Om Basta?           Ayo cepat bersiap, aku sudah tidak sabar.”
            “Iya-iya sayang. Tapi ini masih jam lima pagi. Sudahlah, kamu tunggu di dapur.                 Sebentar lagi kita sarapan bersama.”
            Ocean hanya bisa menelan kekecewaannya saat itu. Namun setelah mereka sekeluarga sarapan, semangat gadis berusia tiga belas tahun itu kembali berkobar. Keriangan hatinya dapat dilihat saat ia bersenandung-ria di mobil ketika menuju bandara.
            Tak terasa kini ia sudah berada di dalam pesawat. Perjalanan selama tiga jam bagaikan terasa tiga hari untuknya, lama sekali. Tak heran jika selama perjalanan, Ocean selalu menggerutu. Kedua orang tua Ocean hanya bisa menggeleng kepala melihat kelakuan anak semata wayangnya itu.
            “Horeee…!!! Ocean sudah di Papua!” Itulah teriakan Ocean saat sudah sampai di Bandara Sentani. Ketika itu Om Basta sudah menunggu di bandara. Ketika Ocean melihat Om Basta, gadis itu berlari dan saat sampai, ia langsung memeluk laki-laki paruh baya itu. Tapi ternyata Om Basta tidak sendiri, beliau mengajak Sean, anak laki-laki semata wayangnya.
            Sean berusia tiga tahun lebih tua daripada Ocean. Dulu ketika Om Basta masih belum dipindah tugaskan ke Papua dan masih menjadi tetangga Ocean, gadis itu sering bermain dengan Sean. Bagi Ocean yang kala itu berusia lima tahun, Sean adalah kakak laki-laki yang baik yang tak pernah ia punya. Tapi setelah kepindahan itu, Ocean dan Sean jadi jarang berkomunikasi hingga akhirnya putus komunikasi sama sekali. Hanya Om Basta yang selalu berhubungan dengannya, itu juga karena Om Basta mempunyai hobi yang sama dengannya.
            Ocean menjadi malu sendiri di hadapan Sean. Mungkin itu karena Ocean baru melihat Sean pertama kalinya setelah delapan tahun tak bertemu. Sean menatap Ocean dengan perasaan geli. Itu karena sikap adik kecilnya yang dulu tidak pernah berubah, yaitu selalu kekanakan. Setelah sambutan Om Basta di bandara itu, mereka semua melanjutkan perjalanan menuju Rumah Om Basta.
            Di perjalanan, Ocean mengoceh tentang Pantai Hitam yang fotonya pernah dikirimkan Om Basta kala itu. Kata Om Basta langsung, pantai itu berada 100 meter dari pintu masuk Desa Tablanusu. Desa Tablanusu adalah desa mungil yang dihuni oleh orang Papua yang ramah. Rumah-rumah penduduk dari kayu juga berjejer rapi di desanya. Tak ada lalu lalang kendaraan juga membuatnya tiada polusi, udara jernih akan memenuhi paru-paru. Om Basta berjanji untuk menemani Ocean menyelam di pantai itu keesokan harinya.
            Satu hari cepat berlalu. Kini, Ocean sudah berada di Pantai Hitam. Sebenarnya Pantai Hitam bukanlah nama aseli pantai itu, tetapi itu adalah sebutan dari Om Basta sendiri. Dalam pikiran Ocean ia berpikir, bahwa beruntung sekali ia menjadi anak Indonesia karena mempunyai negara yang mempunyai banyak sebutan yang membanggakan, salah satunya Negara Maritim.
            Om Basta menyewa satu buah kapal boat untuk menyelam. Ocean begitu terkejut ketika tahu Sean juga ikut menyelam. Setahu Ocean, Sean sama sekali tidak suka berenang. Tapi yang ia lihat, kini Sean sangat ahli dalam hal tersebut. Sebelum Ocean menyelam, ia sudah terlebih dahulu menyiapkan kamera bawah lautnya. Ia ingin momen-momen indah di bawah laut itu diabadikan.
            Sungguh keindahan dunia yang tiada tara. Warna-warna cantik dari berbagai terumbu karang, ikan-ikan lucu nan imut, serta tumbuhan-tumbuhan laut yang sangat mempesona, merupakan anugerah terindah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Rasanya, Ocean ingin hidup di bawah sana. Andai ia bisa menciptakan negeri bawah air, pasti akan ia ciptakan. Berkhayal tentang menjadi putri kerajaan bawah air, memang sangat menyenangkan. Setelah puas memfoto berbagai keindahan bawah laut, Ocean sudah harus kembali ke kapal. Pasokan tabung oksigennya sudah hampir habis.
            Setelah mandi dan berganti baju, Ocean langsung mengambil tempat di bebatuan besar pantai. Menikmati indahnya matahari terbenam tak kalah indahnya dengan menikmati keelokan bawah laut. Tanpa ia sadar, Ocean melentangkan tangannya dan menutup mata. Ia biarkan sapuan angin sepoi-sepoi menyentuh paras cantiknya. Tenang dan nyaman. Rasanya ia ingin sekali tinggal lebih lama lagi di Papua. Namun sayang, liburan awal semester sekolahnya hanya dua minggu, itupun minggu pertama sudah ia habiskan untuk pariwisata di Lombok.
            Sean duduk di sebelah Ocean. Wajah Sean yang Indonesia-Selandia Baru itu, nampak memancarkan rasa kasih sayang. Di tepuknya pundak Ocean dengan perlahan, membuat gadis itu reflek membuka mata.
            “Eh, Kak Sean.”
“Kamu sedang meinkmati matahari terbenam ya, sampai-sampai aku datang kamu baru sadar. Memang pemandangan disini sangat indah. Aku jadi suka menyelam karena pantai ini.”
            “Jadi kakak sudah pernah kesini berkali-kali?”
“Bukan hanya berkali-kali, tapi ratusan kali. Oh iya, disini aku mempunyai teman orang Papua aseli. Namanya Samudera, anak-anak biasa memanggilnya Sam. Aku ingin mengenalkanya padamu, dia sahabat dekatku disini. Kurasa sebentar lagi ia akan ke sini. Dia berumur lima belas tahun, Sam biasa menangkap ikan jika sudah sore begini.”
            Akhirnya orang yang ditunggu-tungu sudah datang. Ocean sangat senang sekali mendapat teman baru. Sore hari nan indah itu dihabiskan mereka untuk bersenang-senang. Sean, Ocean, dan Sam, ketiganya menulis masing-masing keinginannya di selembar kertas. Kertas itu lalu dimasukan ke dalam kayu yang sudah dilubangi terlebih dahulu tengahnya. Setelah semua beres, kayu itu dihanyutkan ke laut, berharap Tuhan akan menjabah impian mereka itu.
            Hari ketiga di Papua, digunakan Ocean dengan baik. Kini ia sudah mulai akrab kembali dengan Sean dan Sam. Suatu ketika, saat mereka sedang menangkap ikan di Pantai Hitam, Sean mengatakan hal yang unik mengenai nama mereka masing-masing. Sean, Ocean, dan Samudera, sama-sama berartikan lautan. Mereka rasa, lautanlah yang menyatukan mereka menjadi seseorang yang dekat satu sama lain.
            Bermula dari Ocean yang suka menyelam, Sean yang jatuh cinta dengan keindahan Pantai Hitam, lalu Sam yang sudah bersahabat dengan lautan dari kecil. Dan satu hal lagi yang tak luput, mereka bertiga memulai persahabatan itu dari Pantai Hitam. Bagaikan mutiara hitam dari timur saja persahabatan ketiganya. Sangat berharga. Mungkin, Pantai Hitam memiliki tempat tertentu di hati ketiganya karena telah menyatukan persahabatan yang indah itu.
            Ikrar janji persahabatan mereka terucap ketika hari keempat di Pantai Hitam. Meskipun mereka berbeda suku, ras, agama, dan kebudayaan antar golongan, ketiganya sangat menjunjung persahabatan. Sean yang lebih tua dari Ocean dan Sam, sangat mengerti hal itu. Ia sangat menyayangi kedua sahabat hidupnya itu. Menurut Sean pribadi, Pantai Hitam mempunyai daya mistis yang sangat eksotik nan indah, sehingga siapapun yang kesana pasti akan jatuh cinta dibuatnya.
            Menyelam di Pantai Hitam, mencari ikan dengan menggunakan sampan, makan-makanan tradisional Papua, melihat tari tradisional pertunjukan Papua, merupakan kenangan yang tak akan pernah Ocean lupakan. Kini ia bisa menjawab pertanyaan di hatinya dulu, akankah liburannya kali ini sangat menyenangkan sama seperti di Auckland? Dan jawabannya adalah sangat menyenangkan.
            Tak terkecuali dengan Sam, ia sangat bahagia bisa berteman dan bersahabat dengan Ocean dan Sean. Kini melalui Pantai Hitam milik pulaunya itu, ia bisa membuktikan bahwa Indonesia sangat dicintai oleh banyak orang dari berbagai negara. Tak akan ia sia-siakan hidup di bumi Indonesia. Sam sangat bercita-cita untuk memperkenalkan keelokan pantai-pantai di seluruh Indonesia pada dunia.
            Hari kelima di Papua merupakan hari terakhir Ocean di sana. Empat hari lagi, ia harus masuk sekolah. Itu berarti, esok ia harus sudah kembali ke Lombok.
“Hei, aku tak akan lupa pada kenangan kita di sini. Setiap akhir pekan, aku akan mengirimi kalian surat. Di Lombok, pasti aku akan merindukan kalian." Ucap Ocean
“Ya, jangan lupakan Sam. Sam pasti juga rindu sama kamu orang.” Lanjut Sam.
“Benar kata Sam, Ocean. Kami pasti merindukanmu.” Sambung Sean.
            Mereka benar-benar menikmati momen-momen terakhir kebersamaan kala itu. Ketiganya berharap, persahabatan itu tak lekang oleh waktu dan surat impian itu juga benar-benar dijabah oleh Tuhan. Sebenarnya tanpa mereka sadari, ketiganya memohon permohonan yang sama, yaitu :
            “Tuhan, jadikanlah persahabatan ini indah selamanya. Seindah Pantai Hitam…”

TAMAT.