Cinta Tanah
Airku, Budaya Indonesia
Diajeng Alana
Prameswari, atau yang biasa disapa Lana, memanglah sangat menyukai Musik Rock
Jepang. Baginya Musik Rock itu adalah kehidupan dan kebutuhan, sehari saja
tidak mendengarkan maka hidup akan terasa hampa. Yah, terlalu hiperbolis memang
tapi itulah pendapat Lana. Dan soal mengapa ia menyukai Musik Rock Jepang bukan
yang lain, itu karena memang dulunya Lana adalah seorang Otaku.
Otaku adalah sebutan untuk orang yang menjadi
penggemar berat manga atau anime. Dari ost. anime-anime itulah Lana menjadi
penyuka Musik Jepang khususnya Rock. Seperti lagu Sobakasu dari Anime Samurai X, lagu Viva Rock dari Anime Naruto, lagu Hero’s come Back dari Anime Naruto Shippuden, Asterisk dari Anime Bleach, lagu We Are dari Anime One Piece dan masih banyak lainnya.
Hari itu adalah Hari
Minggu. Kota Batu yang memang dingin
dipagi hari tak menggentarkan Lana untuk memutar musik kesayangannya. Tentunya
dengan volume yang keras. Kanashimi Wo
Yasashisa Ni menjadi lagu pilihannya kali ini.
‘Tok…Tok..Tok….’ terdengar suara pintu Kamar Lana yang diketuk.
“LANAAA….!!! BUKA
PINTUNYA…!!!”
“Duh, ada apa sih Eyang
Uti? Pagi-pagi kok sudah gedor-gedor pintu kamar Lana.”
“Kamu itu yang ada apa!
Pagi-pagi sudah bikin ribut satu rumah. Volume musik kamu itu tolong
dikecilkan. Laipulah kamu itu anak perempuan, mana pantas dengan musik bising seperti itu.”
“Haduh Eyang, itu namanya Musik Rock. Keren
Eyang. Lagipulah Lana pantas-pantas saja kok dengan musik itu.”
“Kamu ini dibilangin
sama orang tua masih saja menyangkal. Sudah pokoknya Eyang Uti tidak mau tahu.
Mulai besok ubah kebiasaan musikmu itu. Kamu besok Eyang Uti datangkan guru
musik jawa biar cinta sama budaya sendiri. Kamu sebagai anak bangsa harus sadar
Lana, cintai budaya sendiri bukan budaya asing.”
Lana memanglah Lana,
bukan Lana namanya jika ucapan Eyang Uti tidak masuk telinga kanan keluar
telinga kiri, alias hanya dianggap angin lalu. Setelah Eyang Uti kembali dari
kamar Lana, gadis berumur empat belas tahun itu kembali ke aktifitasnya. Yah, bernyanyi
ala rock star dengan meloncat-loncat diatas tempat tidur, tentunya dengan
alunan Musik Rock yang menggema di seluruh kamar.
Pagi itu adalah pagi yang paling ditunggu oleh
Lana. Pagi hari dimana ia akan melakukan hal yang paling disukainya, bermain Musik
Rock. Jam pelajaran pertama Hari Senin memanglah kelas musik, itulah sebabnya
Lana menunggu-nunggu pagi hari itu. Dalam kelas musik, Lana mempunyai seorang
sahabat yang sama-sama menyukai Music Rock sama seperti dirinya. Ia adalah Lintang.
Lintang adalah anak laki-lakinya Om Beny, teman dekat Papa Lana. Lintang dan
Lana memanglah sahabat karib sedari kecil. Bahkan teman-teman mereka selalu
menjuluki dimana ada Lana disitulah ada Lintang.
Seperti biasa, Lana
memang selalu datang pagi di Hari Senin. Ia selalu menempati tempat duduk di
samping Lintang atau lebih tepatnya di bangku urutan kedua di pojok kanan kelas. Kelas masih sepi dan
Lintang juga belum datang. Akhirnya Lana lebih memilih menghabiskan waktunya
untuk membaca majalah Musik Rock kesukaannya sambil menunggu bel masuk.
Lima belas menit telah
berlalu. Lana melihat Lintang datang ke bangkunya dengan sedikit berlari-lari
kecil bersamaan dengan berbunyinya bel sekolah. Ternyata Lintang hampir saja
terlambat. Untungnya Mang Diman, penjaga pintu gerbang, memperbolehkannya masuk
meski Lintang datang tepat jam 06.45. Sesuai peraturan sekolah, seharusnya para
murid datang lima belas menit sebelum jam yang sudah ditetapkan.
Setelah Upacara Bendera
selesai, akhirnya jam pelajaran pertama dimulai. Lana paling bersemangat untuk
hal yang satu ini. Selain karena ia suka musik, ada faktor lain yang
menyebabkan ia menyukai jam pelajaran
pertama hari itu. Itu karena Lana sangat mengagumi Bu Ifa. Meskipun Bu Ifa
berkerudung dan itu membuat orang berasumsi bahwa Bu Ifa orang yang kalem dan
pendiam, pada kenyataannya guru muda satu itu tidak seperti itu. Bu Ifa orang
yang sangat ceria dan bersemangat. Beliau mengajar dengan santai tetapi tegas.
Itu yang membuat para murid menyukainya.
Bu Ifa datang lima
menit setelah seluruh murid masuk kelas. Tetapi kali ini berbeda dari biasanya,
Bu Ifa tidak datang sendiri. Beliau datang bersama gadis keturunan luar negeri. Mungkin gadis itu adalah murid
baru karena para murid belum pernah melihat sebelumnya dan juga karena
seragamnya bukan seragam SMP PEKERTI LUHUR, tempat mereka bersekolah.
Satu kelas mendadak
hening ketika dua orang itu datang. Bu Ifa yang merasa sudah waktunya untuk
mengajar mulai buka suara. Pertama-tama seperti biasa, beliau menyapa semua
murid dengan gayanya yang energik namun bersahaja. Dan selanjutnya ia mulai
memperkenalkan siapa sesungguhnya gadis yang datang bersamanya.
Gadis itu bernama
Ananta Ferdinant. Dia pindahan dari SMP MERDEKA, Jakarta Selatan. Ia keturunan
Indonesia dengan Austria. Ibunya Indonesia dan Ayahnya Austria. Ia pindah ke Kota
Batu karena Papanya dipindah tugaskan dari kantornya yang ada di Jakarta. Itulah
hal yang ditangkap Lana ketika Ana, sapaan akrab gadis itu, menjelaskan tentang
dirinya di depan kelas. Setelah Ana selesai memperkenalkan diri, Bu Ifa
menyuruhnya untuk duduk di bangku yang ada di belakang Lana. Lana sangat
antusias sekali mendapat teman baru. Diakui oleh satu kelas, Lana memang cepat
akrab dengan orang lain. Itulah yang menyebabkan gadis itu mempunyai banyak
teman.
Pelajaran segera
dimulai. Bu Ifa mengajar dengan gayanya yang biasa, santai namun tegas.
Ditengah-tengah pelajaran, beliau memberitahukan bahwa akan diadakan Music
Festival Competition di sekolah. Pemenangnya akan langsung dikirim untuk
mewakili sekolah ke tingkat selanjutnya. Semua siswa dari kelas VII hingga
kelas IX berhak untuk mendaftar. Mendengar itu semua, Lana dan Lintang tentu
akan lebih memilih Music Rock untuk ditampilkan. Mereka berdua akan bernyanyi.
Lana tidak menyangka
bahwa Ana akan memilih Keroncong Jawa, atau lebih tepatnya ia akan menyinden
keroncong di Music Festival Competition itu. Bukan Lana saja yang kaget,
melainkan satu kelas juga. Ia tak menyangka seorang gadis keturunan Austria
bisa menyinden keroncong. Sebelumnya Lana berpikir bahwa Ana akan lebih memilih
music Pop, Jazz, atau Rock. Tapi pada kenyataannya ia lebih memilih Keroncong
Jawa.
Jam pelajran telah
usai. Istirahat kala itu, Lana habiskan untuk bercengkrama dengan Ana, teman
barunya. Ia bertanya pada Ana mengapa ia lebih memilih Musik Jawa daripada musik
lainnya. Dan jawaban Ana benar-benar menggetarkan sesuatu dalam diri Lana. Lana
merasa malu. Sampai dengan pulang sekolah, Lana masih memikirkan jawaban yang
Ana berikan padanya.
“Aku lebih memilih Keroncong
Jawa karena menurut aku Musik Jawa itu keren. Bahasanya yang luhur mengandung
makna baik tersendiri daripada musik lainnya. Contohnya Tembang Pucung yang
bersifat menasehati, Tembang Gambuh yang bersifat lucu, Sinom, serta
tembang-tembang lainnya. Musik Jawa itu bagus Lana, kamu seharusnya bangga jadi
anak Jawa, anak Indonesia. Aku merasa aku beruntung terlahir dari rahim ibuku,
karena aku bisa menjadi bagian dari Indonesia.”
Jawaban itulah yang
membuat Lana merasa malu karena ia lebih memilih Musik Rock yang bukan datang
dari negerinya sendiri. Dan yang lebih membuatnya merasa pundung adalah
kata-kata itu datang dari Ana, seorang gadis yang bahkan darahnya bukan sepenuhnya
Indonesia. Sedangkan dirinya sendiri yang kebetulan keturunan Priyayi Jawa dari
Eyang Uti, malah tidak menyukai Musik Jawa.
Sesampainya di rumah,
Lana dikejutkan oleh adanya tamu Bu Martini dan Ana. Ana agaknya setelah pulang
sekolah langsung menuju ke rumah Lana karena ia belum sama sekali berganti pakaian.
Ternyata Ana adalah cucu dari Bu Martini dan maksud kedatangannya bersama neneknya
adalah atas permintaan Eyang Uti untuk mengajari Lana menyinden. Sekarang Lana
benar-benar malu menjadi anak bangsa. Bahkan Eyang Uti harus memanggil orang
untuk mengajarinya untuk mencintai budayanya sendiri. Mungkin Lana sedikit
menyesal karena selama ini mencintai budaya orang lain.
Lana menyambut Ana dan
Bu Martini dengan antusias yang tinggi, membuat Eyang Uti terheran-heran akan
sikapmnya. Setahu beliau Lana tidak menyukai menyinden, tapi sikap cucunya kali
ini berbeda dari yang sudah-sudah. Lana mulai bersemangat ketika diajari untuk
membawakan satu tembang Jawa. Awalnya memang susah karena nada-nadanya yang
tinggi dan terkesan dalam, tapi lama-kelamaan Lana bisa menguasainya dengan
baik. Ia seperti tak ubahnya menyanyikan lagu Rock yang jika dibawakan seperti
berteriak. Bedanya jika membawakan tembang Jawa adalah cara pembawaannya yang
halus, kalem, lemah lembut dan penuh dengan penghayatan.
Tak terasa sudah dua
minggu Lana belajar menyinden dengan Ana dan Bu Martini. Agaknya ia sudah bisa
menguasai beberapa tembang Jawa. Beberapa ia bawakan dengan keroncong. Rasa
malunya yang dulu sedikit menghilang. Entah mengapa ia ingin menebus
kesalahannya menjadi anak bangsa yang tak mencintai budayanya sendiri. Ia ingin
membuat kejutan bagi semua orang.
Hari itu adalah hari
dimana Music Festival Competition digelar. Seluruh tamu undangan yang terdiri
dari para wali murid dan sanak kerabat mulai memenuhi aula sekolah tempat
kompetisi digelar. Pertama-tama tampilan beberapa murid bergenre POP yang
menjadi pembuka kompetisi. Dilanjutkan oleh Jazz, lalu Keroncong Jawa. Jumlah
peserta untuk Keroncong Jawa ada dua puluh orang. Ana dengan baju casualnya
tampil dengan baik membawakan Lagu Bengawan Solo yang dipopulerkan oleh Gesang.
Tiba pada peserta terakhir.
Peserta itu adalah
Lana. Ia memakai kebaya dan sewek serta
rambutnya yang disanggul bak putri keraton. Semua orang yang hadir nampak
takjub padanya, karena ia adalah satu-satunya peserta yang tampil penuh
maksimal. Bahkan Eyang Uti yang awalnya melihat malas pemandangan tampilan
peserta yang ada, matanya terbelalak lebar saat melihat cucunya dengan aksen
budaya Jawa kental. Beliau tidak menyangka Lana akan bernyanyi musik keroncong
karena pada saat berangkat dari rumah tadi cucunya itu mengenakan baju casual
jeans.
Lana tampil berbeda
dengan apik dengan membawakan lagu yang berbeda pula. Ia membawakan Lagu
Zandvoort Aan de Zee versi keroncong. Lagu itu adalah lagu Tanjung Perak khas
Surabaya yang diubah liriknya menjadi lirik Bahasa Belanda. Lagu itu sering
dinyanyikan oleh penyinden ternama kelas Silir Pujiwati. Memang lagu itu bukan
berlirikan Indonesia seperti lagu tembang-tembang keroncong lainnya, tetapi
maknanya yang Lana pilih.
Sungguh tampilan yang menggetarkan panggung
kompetisi. Diakhir penampilannya, Lana mengucapkan kata-kata tak terduga yang
membuat semua orang kagum.
“Kita sebagai anak
bangsa seharusnya bangga pada budaya musik kita sendiri, karena budaya musik kita
itu sangat bagus. Contohnya seperti lagu yang baru saja saya bawakan. Lagu itu
adalah lagu Tanjung Perak khas Surabaya yang diubah liriknya menjadi lirik
Bahasa Belanda. Betapa orang luar sangat mengaggumi budaya musik kita, tetapi
mengapa kita tidak? Bukan hanya budaya musik saja, tetapi budaya lainnya juga.
Saya sadar saya tidak pantas mengatakan hal ini karena dulu saya adalah pecinta
Musik Rock, tetapi saya ingin berubah. Saya ingin menjadi anak bangsa sejati
yang melestarikan budayanya sendiri. Ayo teman, kita lestarikan budaya negara
kita bersama. Cinta tanah airku, budaya Indonesia.”
Bersamaan dengan
berakhirnya pidato singkat Lana, gema riuh tepuk tangan penonton langsung
membahana. Eyang Uti sampai menangis terharu melihat penampilan Lana. Beliau
sangat bangga pada cucu satu-satunya itu. Setelah penampilan Lana, acara
dilanjutkan dengan penampilan musik berikutnya, Musik Rock.
Di belakang panggung,
Lana berterima kasih kepada Ana karena telah mengajarinya tentang banyak hal
secara tidak langsung. Lana sadar jika Ana tidak memberikan jawaban yang
membuatnya berubah, mungkin saat ini ia masih menjadi anak bangsa yang tak bisa
mencintai budayanya sendiri. Setelah itu mereka berdua mendukung Lintang yang
bernyanyi solo dengan Musik Rock kesukaannya.
Tibalah dipenghujung
acara dimana pemenang akan diumumkan. Setelah pengumuman pemenang Juara POP dan
Jazz, kini tibalah pengumuman pemenang Juara Keroncong. Lana begitu kaget
ketika namanya keluar sebagai juara pertama, sedangkan Ana menempati posisi
kedua. Disusul pengumuman pemenang juara pertama dari Musik Rock yang ternyata
diraih oleh Lintang. Para hadirin yang hadir bertepuk tangan atas kemenangan
para juara itu.
Setelah turun dari
panggung, Lana langsung berlari menuju Eyang Uti. Ia memeluk nenek
kesayangannya itu dengan erat. Lana meminta maaf kepada Eyang Uti atas
kelakuannya selama ini yang membuat Eyang Uti menjadi kesal. Lana berjanji akan
lebih melestarikan budaya Jawanya daripada budayanya yang lain. Tentunya Lana
juga akan menghormati budaya-budaya lainnya. Dan malam indah itu ditutup dengan
kata-kata Eyang Uti yang membuat Lana merasa lebih bersemangat melestarikan
budaya bangsa.
“Dipalangana mlumpat, ditalenana medhot. Yen Wis tinakdir (jodho), kaya
ngapa’a mesthi bakal kelakon (dadi). Ya seperti kamu ini Lana. Memang sudah
jodhomu berada di jalur musik keroncong disbanding Musik Rock. Buktinya suara
kamu tadi bagus dan kamu menjadi pemenangnya bukan.”
“Hehehe, Ok Eyang.
Mulai sekarang Lana banar-benar akan mendengarkan apa yang dikatakan oleh
Eyang. Lana cinta budaya Indonesia.”
SELESAI.